Minggu, 06 November 2011

Tanggapan Saya Buat Komodo


Alasan saya menulis ini : saya ingin orang-orang yang tidak tahu menjadi tahu apa yang ada di balik teori konspirasi (???) komodo. Jangan telan mentah-mentah info dan propaganda yang beredar luas di pasaran. Macam taqlid buta lah nantinya.

Ehm, pengumuman dulu, segala informasi berupa fakta di bawah ini sumbernya Kompas pokoknya, bukan bermaksud ngiklan, tapi memang kos saya langganannya Kompas,ahaha.
Cekidot.

Sudah berminggu-minggu newsfeed saya dihiasi dengan update-update himbauan buat nge-vote Taman Nasional Komodo (TNK) -yang bisa jadi kalau saya aktif di twitter tidak kalah ramai-. Iklan di TV juga ada, bahkan sampai tarif sms komodo yang hanya 1 Rupiah. Saya pikir, ada apa ini? Kok sepertinya semangat sekali menobatkan TNK menjadi New7Wonders, dan dengan hati yang membatin seperti ini saya jadi agak merasa bersalah. Serasa bukan nasionalis, hati batu, tidak berpri-komodo-an. Saya memang tidak tertarik dengan hal-hal yang merepotkan seperti itu. Toh kehilangan satu suara dari saya tidak material, kecuali kalau disuruh nge-vote Palestina jadi negara merdeka, baru saya semangat. Ealah, malah curhat.

Begini, saya ingin bercerita kronologinya terlebih dahulu. Akhir tahun 2007, sebuah yayasan bernama New 7 Wonders (N7W) Foundation mengundang 220 negara agar mendaftarkan 440 keajaiban alam untuk dinominasikan. Di pertengahan 2008, alias di bulan Agustus, Kembudpar mendaftarkan TNK, Danau Toba, dan Anak Krakatau, dengan biaya masing-masing 199 dolar AS. Juli 2009, TNK terpilih menjadi salah satu finalis dari 28 calon lainnya. Mulai sejak ini Kembudpar berkampanye supaya TNK masuk dalam tujuh keajaiban alam (saya baru sadar, ternyata New 7 Wonders yang dulu itu masih nyambung dengan yang sekarang, bertahun-tahun!). Sampai tahap terakhir, sebenarnya tidak ada masalah. Pada bulan Oktober 2010, Indonesia ditawari menjadi tuan rumah acara ini, dan Kembudpar menyanggupi. Ini dia awal masalahnya.

Kembudpar dan pihak N7W makin intensif berkomunikasi. Hasilnya, informasi dari N7W menyebutkan bahwa dana yang harus ditanggung tuan rumah sangatlah besar. Indonesia harus mengeluarkan biaya sekitar 35 juta dolar AS atau setara dengan 383 miliar Rupiah. Whew. Nyaris setengah triliun, kawan. Mekanisme pembiayaan ini bukan dibebankan kepada negara melainkan melalui sponsor, sementara tidak ada sponsor dari Indonesia yang bisa mendanai acara itu. Makanya, Kembudpar menarik kembali kata-katanya ketika menyanggupi menjadi tuan rumah. Sikap Kembudpar ini membuat pihak N7W menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa dipercaya. Karena dianggap ingkar janji, awalnya N7W akan mencoret TNK sebagai finalis, yang akhirnya hanya mencoret Kembudpar sebagai OSC a.k.a Official Supporting Committee a.k.a pendukung resmi-lah­ bahasa bodohnya. Untungnya ada aktivis lingkungan yang tergabung dalam Pendukung Pemenang Komodo (P2K), yang menyatakan sanggup untuk menjadi OSC pengganti, pasalnya kalau tidak ada yang menggantikan, tamatlah riwayat TNK jadi finalis. P2K ini juga yang memiliki andil dalam penurunan tarif sms komodo menjadi satu rupiah per sms, karena mereka ingin voting tidak hanya melalui internet. Applause. Nasib komodo di ajang N7W pun kembali berlangsung.

Begitu secara singkatnya.

Yang menarik, ketika N7W mengancam pencopotan label finalis TNK, dan akhirnya mencoret Kembudpar sebagai OSC, Kedubes RI di Swiss beserta sejumlah wartawan mencoba mendatangi kantor N7W. Hasilnya, alamatnya tidak jelas, kode pos antara kop surat dan lokasi kantor berbeda, dan banyak kejanggalan lain. Jero Wacik yang saat itu menjabat Menbudpar menyatakan bahwa mereka berkesimpulan lembaga ini tidak kredibel.

Benar sekali, Pak Wacik, benar sekali. Bagaimana mungkin sebuah lembaga internasional dikatakan kredibel ketika bahkan alamatnya tidak jelas? Saya sebagai orang awam pun memahami, setidaknya, lembaga internasional tidak semisterius itu dan kejanggalan-kejanggalan administrasi yang ada membuat mereka tampak tidak profesional. Latar belakang mereka mengadakan N7W sampai saat ini, saya tidak pernah tahu. Seandainya yang mengadakan lembaga internasional yang jelas macam UNESCO, saya percaya acara tersebut memang diadakan untuk pelestarian karena dasar dan tujuan organisasi sudah jelas. Karena disinyalir N7W kredibilitasnya dipertanyakan, bisa disimpulkan, Indonesia bagaikan telah ditipu. Negara, lho, ditipu sama Heidi Weber a.k.a pendiri N7W yang kantornya nggak jelas di mana.

Yang saya rasa heran, Indonesia masih melanjutkan perjuangan memenangkan komodo di pentas keajaiban dunia. Applause. Paling tidak, komodo berhasil menjadi ikon pembangkit nasionalisme Indon yang instan. Malah katanya, orang-orang berhasil diprovokasi. Provokasi gimana? Katanya sih, katanya, setelah himbauan nge-vote komodo, tulisan di bawahnya berbunyi : "Komodo saat ini dikalahkan biawak air Malaysia! Ayo serang biawak air orang Malaaay!!!" Saya nulisnya lebay, sih. Kurang lebih begitu. Alhasil, akibat provokasi, Indon pada geram dan ng­e-vote­ sebanyak-banyaknya. Lha, ini niatnya mendukung pelestarian TNK, popularitas TNK, apa malah jadi media battle sama Malaysia? Ooooh...negeri serumpun. Saudara seiman. Mengapa engkau jadi musuh abadi?

Eeeiiitssss...keluar jalur.

Ngomong-ngomong tentang masa depan komodo kalau benar-benar jadi N7W?
Entahlah. Sudah ada pihak yang mengkhawatirkan konservasi komodo yang kemungkinan nantinya terganggu karena jumlah wisatawan yang meningkat gara-gara TNK mendadak populer. Tanggapan Pak Jusuf Kalla, "Komodo dijadikan wisata eksklusif." Oh. Oke Pak Ucup, saya terima kalau itu. At least, ada harapan kalau yang masuk pulau komodo itu orang-orang elit. Definisi saya tentang orang elit : berduit, berpendidikan, minimal kumpulan peneliti atau peliput berita atau kru acara hunter macam Shimura Daibutsuen atau Arashi no Shukudai-kun (halah). Bukan tipe-tipe orang yang merusak atau datang cuma buat poto-poto sambil teriak,

"Heee~yyy!!! Aku difoto sama komodo dong~!!! Eh, liat, tuh, komodonya drooling. Jijik yach~!!!"
Habis itu yang bersangkutan dikejar-kejar komodo sampai ujung pantai. Eeeew.

OUT OF TOPIC.

Jadi, perlulah sekiranya ditinjau kembali, alasan kita buat voting. Bijak atau tidak buat nasib para komodo yang tidak-cantik itu? Seandainya reasonable, boleh lah kita voting, dan bolehlah tidak. Asal dari apa yang kita lakukan itu, alasannya jelas, manfaatnya ada.

Ehm, saya mengantuk. Sekian dulu saja, dan ehm, sepertinya agak bahaya juga beropini begini, tapi bodo amat lah, ahaha. ***


Saya bersyukur sekali memiliki teman-teman kos yang suka diajak ngobrol hal-hal yang hot, sebut saja Mawar dan Raflesia (ceritanya mau inisial, tapi lebih keren jadi nama bunga), sambil membuka lembaran koran, sambil celathu.

Tidak ada komentar: