Selasa, 01 Juni 2010

Biopori, Solusi Multiguna


Terinspirasi oleh tanah Dieng yang telah rusak dan diskusi dengan teman, saya jadi ingin mengangkat isu perbaikan air dan tanah melalui biopori. Bisa jadi banyak orang tak tahu apa yang dimaksud dengan biopori, oleh karenanya, saya bermaksud untuk mempopulerkannya barang sebentar.

Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktivitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap, dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara, dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah (www.biopori.com). Kita sendiri dapat membuatnya, dengan menggali lubang dengan diameter 10-30 cm dan kedalaman sekitar 100 cm, yang nantinya kita isi dengan sampah organik untuk memacu timbulnya biopori. Lubang biopori buatan ini umum disebut Lubang Resapan Biopori (LRB). Keunggulan dan manfaatnya antara lain meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organik menjadi kompos, dan memanfaatkan fauna tanah atau akar tanaman (www.biopori.com).

Keunggulan dan manfaat itulah yang kita gunakan untuk melaksanakan program Go Green. Disadari atau tidak, banyak yang menggembar-gemborkan Go Green dengan penanaman banyak pohon, namun tak dipikirkan bagaimana merawat pohon-pohon tersebut. Akibatnya, banyak bibit-bibit pohon yang percuma ditanam, karena mati tak terawat. Terutama pada daerah yang kering dan banyak angin, yang membuat bibit pohon kekurangan air dan tumbang karena ringkih. Belum lagi karena tanah yang kritis terlalu lama kosong sehingga tidak subur dan mengakibatkan bibit-bibit pohon program Go Green kekurangan nutrisi dan tak tumbuh dengan baik sebagaimana harapan para penanam yang berjuang untuk menghijaukan lahan-lahan kritis.

Selain itu, LRB merupakan salah satu solusi yang tepat untuk menyuburkan kembali tanah-tanah pertanian yang tak lagi subur karena terlalu banyak diberi pupuk kimia. Seperti Dieng, misalnya. Dibarengi dengan keserakahan manusia, tanah di Dieng yang subur terus-menerus dipupuki dengan zat-zat kimia berlebih dengan harapan panen makin melimpah, pun hutan-hutan dirambah hanya untuk menanam kentang. Hal ini membuat tanah di Dieng mengeras, asam, tak subur, dan tercemar. Begitu pula air tanahnya, yang membuat air susu ibu-ibu di Dieng mengandung zat polutan. Saya yakin hal ini tak hanya terjadi Dieng saja, mengingat sebagian besar petani di Indonesia memang tak memiliki standar pendidikan dan keterampilan yang cukup, terutama menyangkut pelestarian lingkungan.

Dengan mempopulerkan LRB, beberapa masalah lingkungan di Indonesia akan terselesaikan secara bertahap. Karena LRB memaksimalkan daya resap air pada tanah, maka resiko banjir dapat dikurangi, terutama banjir yang diakibatkan buruknya sistem atau mampatnya saluran air, banjir kiriman, dan curah hujan tinggi. Air tanah juga dapat dilindungi kelestariannya, mengingat beberapa bahkan ratusan tahun mendatang kebutuhan akan air bersih akan meningkat berkalilipat, dan akhir-akhir ini air tanah mulai terancam keberadaannya karena ulah manusia. Produksi gas rumah kaca penyebab pemanasan global, khususnya karbondioksida dan metana, juga akan berkurang karena sampah organik yang menghasilkan gas-gas tersebut diolah menjadi kompos. Di samping itu, masalah pengolahan sampah yang selalu membuat pemerhati lingkungan sakit kepala, dapat teratasi, paling tidak, untuk sampah organik.

Kesuksesan penanaman pohon akan meningkat jika disertai pembuatan LRB. Menurut www.biopori.com, lokasi yang tepat untuk membuat LRB salah satunya di sekitar pohon. Dengan ini, maka pupuk pohon akan tersedia secara alami tanpa kita harus repot untuk menyediakannya. Apabila program gabungan ini dilaksanakan secara massal, penghijauan lahan-lahan kritis akan semakin mudah. Karena tanah menjadi subur lebih cepat daripada penanaman tanpa LRB, cadangan air meningkat, dan pohon-pohon dengan sendirinya akan tumbuh cukup nutrisi.

Tak hanya masalah lingkungan, LRB dapat pula membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keuntungan buat petani tak hanya tanah yang menjadi subur, tapi juga kompos yang dapat dipanen secara berkala, bisa dijual, ataupun digunakan sendiri untuk menghemat pemakaian pupuk buatan yang makin lama makin mahal, sehingga bisa menekan biaya produksi. Karenanya, agribisinis berkembang, dan bisa jadi mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang benar-benar pantas dijuluki sebagai negara agraris. Pupuk yang alami ini bisa pula digunakan sebagai awal pergerakan pertanian atau perkebunan organik, sehingga ketergantungan terhadap pupuk kimia berkurang dan konsumen diuntungkan karena kualitas komoditi panen organik jelas lebih baik daripada yang menggunakan zat-zat kimia. Dan bila dikembangkan secara serius, pertanian organik ini dapat dijadikan salah satu komoditi ekspor unggulan, yang secara langsung tak hanya meningkatkan penghasilan devisa, tapi juga kesejahteraan rakyat pada umumnya, dan petani pada khususnya.

Awalnya sepele memang. Namun, lubang-lubang ini luar biasa manfaatnya karena mampu mengharmonisasi komponen-komponen alam. Setelah mengetahui manfaatnya, mari kita populerkan biopori. Mengapa tidak?***