Minggu, 26 Oktober 2008

Sayonara Cupu...

Cupu mati dua hari lalu.

Waktu aku terkapar karena sakit, lamat-lamat kudengar adikku yang heboh mendapati Cupu tak lagi bernyawa. Aku ingin bangkit dari istirahat panjangku, tapi aku tak mau melihat onggokan tubuh Cupu yang tak lagi bersatu dengan rohnya. Sungguh, aku tak mau.

Lalu Bapakku yang membereskan Cupu. Aku tak tahu, apakah Bapak menguburnya, atau mengikuti kata-kata Ibu : “Buang saja ke selokan!” Yang jelas, ketika aku bangun dan bersiap membersihkan tubuhku, aku melihat kotak kaca yang setahun ini menjadi tempat Cupu terkurung, kosong, tak berair, dan tak ada kehidupan seperti biasanya. Dan aku tak mau tahu Cupu oleh Bapak diapakan setelah itu. Sungguh, aku tak mau.

Aku sudah menduga beberapa hari sebelumnya, Cupu bakal mati. Dia tak semangat seperti biasanya, caranya berenang seperti berat sebelah, kadang dia memojok, bersandar pada kaca, dan bereaksi hanya ketika kuganggu. Mataku nyaris basah saat terakhir kali aku ganti air ke dalam kotak kacanya. Biasanya dia menggelepar keras saat dipindahkan dari kotak ke gayung, dan sebaliknya. Tapi ketika itu dia sudah tak berdaya, tak lagi melawan arus air, dia seakan pasrah dan begitu saja menjatuhkan tubuhnya ke bawah. Aku menutupi kesedihanku dengan memberinya makan, seperti biasa, satu-dua irisan kecil dari sebutir nasi, lalu kupancing dia dengan jariku kuayunkan di atas permukaan air, lalu kujatuhkan makanannya, dan aku sedikit terhibur, walau dia lemah dan nyaris tak bisa berenang dengan sirip-sirip indahnya itu, dia masih bersemangat mengisi lambungnya.

Cupu, aku tahu kau sudah terlalu tua untuk menemaniku. Aku harap kini kau bebas dan bahagia, daripada kau terus terkurung dalam kotak kaca kecil yang membosankan.

Cupu, sayonara.