Minggu, 02 Mei 2010

Ini Aneh, Sangat Aneh

***Note : cerpen ini aku buat dalam rangka lomba beberapa bulan yang lalu, berhubung nggak menang *hehe* dan nggak ada pemberitahuan lebih lanjut, jadi mau berbagi aja. Rada aneh emang ceritanya. Nggak jelas pula. Nggak bagus kok, nggak bagus. Selamat membaca!***

APA INI???

Aku tak menemukan kakek. Aku tak menemukan Bibi. Dan pakaianku jadi kain terbelit-belit! Baru saja aku untuk pertama kalinya bermain di loteng rumah Kakek, mencoba menyentuh cermin hitam di sana, berpusing cukup lama, dan tiba-tiba berada di sini!

Yang ada di depanku sekarang adalah, kumpulan pria yang penampilannya seperti pegulat, sebuah gong, serta lapangan bulat selebar arena tanding bulutangkis di tengah mereka. Kulihat bokongku berada di atas kursi kayu dengan ukiran yang rumit, dan aku berada pada posisi yang nyaman untuk menonton. Tambah lagi, seorang pria paruh baya dengan pakaian tradisional Jawa yang glamor, duduk tepat di sebelahku. Jangan-jangan aku tadi pingsan dan tiba-tiba didandani untuk jadi peserta festival budaya? Ya ampun!

“Maaf, Pak. Ini di mana ya?” aku towel tangan pria paruh baya itu, dan dia mengernyit.

“Apa yang Ananda katakan? Apa Ananda lelah? Atau sakit?” tanyanya prihatin.

Aku menggeleng, “Sepertinya saya salah tempat. Tolong, saya harus pulang!”

“Apa? Ananda ingin beristirahat? Tapi sayembara ini dilaksanakan untuk Ananda, tak boleh pergi sebelum selesai,”

“Kumohon!” Sontak aku berdiri, pria itu terkejut, dan wanita yang sejak tadi berdiri di belakangku, merengkuh tanganku dan dengan lembut memaksaku duduk kembali.

“Gusti Ratu, sepertinya Putri Drupadi gugup menghadapi sayembara ini, setelah menolak Adipati Karna, ” wanita itu berujar sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.

“Hahaha! Tentu saja! Ratusan pemuda terbaik dari seluruh negeri memperebutkan putriku! Jelaslah ia berhak memusingkan diri untuk memilih salah satu diantaranya! Tenanglah Ananda putriku, ayah yakin, pria yang memenangkan sayembara ini adalah pria yang hebat! Tak perlu merasa bersalah telah menolak pria sehebat Adipati Karna, karena pasti ada yang lebih baik lagi!”

Adipati? Karna? Aku tak yakin. Tapi, perlahan aku sadar, aku memang berada di tempat lain. Tak masuk akal, tapi memang harus masuk di akal! Aku, Drupadi? Hei, ini bukan timesplit, ‘kan? Oke, begini saja. Ini mimpi. Pasti begitu. Pasti.

Selagi aku berpikir, tak terasa pergumulan pegulat telah dimulai. Mereka berkelahi. Merebutkan aku. Dan selagi aku heran, aku melihat lima pemuda mengenakan pakaian kain kelabu tua diantara orang-orang di sekitar arena. Aku tertarik.

“Ehm, Ayahanda, siapa mereka?” aku mencoba bertanya pada Sang Raja, mencoba beradaptasi. Jariku menunjuk lima pemuda itu.

“Dari pakaiannya, mereka brahmana, tapi, entahlah. Tak biasanya kaum brahmana ikut serta dalam sayembara.”

Beberapa saat kemudian, salah satu dari mereka maju ke arena. Kuperhatikan, dialah yang paling tampan diantara kelimanya. Kulitnya bercahaya, hidungnya bangir, sorot matanya tajam, dan gagah. Dia berkelahi dengan gesit, menumbangkan satu persatu penantangnya, selayaknya silat, jungkir balik, tendang sana tendang sini, lompat dan sesekali menghindar, beraksi ke segala penjuru arena pertandingan. Gerakannya bagai tarian, indah sekali. Padahal dia seorang brahmana! Tak bisa aku sembunyikan rasa kagumku, dan aku terus menatapnya lekat-lekat. Tapi di luar itu semua, aku masih memusingkan diri. Apa yang sedang aku lakukan di sini? Gila!

Tak makan waktu lama, pemuda itu berdiri di tengah arena sebagai pemenang.

“Gusti Ratu, ini saatnya.”

Sang Raja mengangguk, dan berkata, “Drupadi putriku, mari kita menemui dia,”

Aku menurut saja, tapi, secara tak terduga, interupsi datang dari para hadirin.

“APA-APAAN INI??? BRAHMANA TAK SEHARUSNYA MENGIKUTI SAYEMBARA!!! KAMI TAK TERIMA!!!”

“BENAR!!! HUKUM SAJA BRAHMANA ITU!!!”

Situasi tak terkendali, aku dan Sang Raja, tak berkutik. Dengan sigap para pengawal mengamankan kami. Kelima pemuda berpakaian brahmana itu berkelahi dengan susah payah, melawan ratusan orang yang datang untuk sayembara. Perlahan, mereka menjauh dari arena sambil menangkis serangan-serangan yang membabi buta. Mereka menuju tempat penitipan kuda, masing-masing dari mereka menaikinya satu sambil bertarung. Mereka meloloskan diri dengan kuda, tapi ada satu dari mereka yang tak lari, melainkan menuju ke arahku. Aku tak menyadari apapun sampai dia menyambar tubuhku dan mendudukkanku di belakangnya. Ini semua terlalu cepat! Dia membawaku kabur!

“Putriku!!!” Sang Raja berteriak, tapi, karena dia bukan ayahku, aku tak merespon. Dan sepertinya, prajurit berkuda mulai mengejar kami.

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan?”

“Aku memenangkan sayembara, dan aku berhak mendapatkanmu. Aku Arjuna, putra ketiga dari Pandhawa, datang dari Astina Pura. Mereka yang di depan itu saudara-saudaraku,” katanya sambil memacu kuda.

Wow. Sepertinya aku tahu dimana aku berada. Ya! Aku ingat! Ini masa dimana kisah Mahabharata berlangsung. Aku pernah mendengar Kakek bercerita padaku. Tapi aku tak mengingat seluruhnya. Lalu, kemana tujuan kelima pemuda ini kabur? Sekarang ini, yang aku tahu hanyalah, prajurit berkuda tak tampak. Ini artinya, mereka berhasil melarikan diri!

Ya ampun. Sesungguhnya, aku ingin tidur. Tapi guncangan selama perjalanan membuatku harus menahan rasa sakit di pantat. Kalau aku tiba-tiba menyandarkan kepalaku di punggung yang ada di hadapanku ini, malu. Tapi ini memang perjalanan yang panjang. Kalau aku bawa jam tangan, pasti sudah lebih dari lima jam kuda ini berlari. Matahari hampir tenggelam. Dan kami belum sampai tujuan. Tanganku lelah memeluk pinggang pemuda ini dalam waktu yang lama. Senang, sih. Tapi, grogi juga.

“Kapan kita sampai?”

“Menurut perkiraanku, ketika matahari tenggelam, kita sudah sampai. Tenang saja, simpan saja lelahmu. Kau bisa beristirahat nanti, Drupadi.” Dia tersenyum menggoda. Tidak sopan! Tapi karena dia tampan, aku maafkan. Baiklah, dia benar. Matahari sudah separuh tenggelam di cakrawala, dan kelima kuda menurun kecepatannya. Kami memasuki kawasan di mana ada rumah joglo yang indah berdiri di atasnya. Dan setelah kuda-kuda ini berhenti, Arjuna turun dan membantuku menjejak tanah.

“Drupadi, tunggulah di sini. Ada ibuku, kami ingin berbicara dengannya sebentar.”

Aku mengangguk patuh. Pandhawa memasuki bagian depan joglo menemui seorang wanita. Ibu mereka?

“Ibu, kami pulang,” kakak Arjuna memulai pembicaraan.

Wanita itu tersenyum lembut, “Masuklah dan beristirahat, kalian pasti telah mengalami kejadian yang melelahkan,”

“Benar. Tahukah Ibu? Selama perjalanan, kami mendapatkan sedekah dari orang-orang,”

“Kalau begitu, putraku, semua yang kalian dapatkan selama kalian pergi, aku perintahkan untuk dibagi sama rata, tak terkecuali.”

“Tak terkecuali, Ibu? Benarkah itu?”

“Benar, tak terkecuali. Aku perintahkan itu, dan kalian harus melaksanakan. Kata-kataku sebagai seorang Ibu dari para ksatria, tak bisa ditarik kembali.”

Pandhawa terdiam sejenak. Arjuna angkat bicara,”Ibu, akan kuperlihatkan sesuatu!” Dia berjalan cepat menuju ke arahku, menarikku ke hadapan Ibunya.

“Kami dapatkan Drupadi, putri dari Raja Drupada, penguasa Panchala, sebagai hasil dari kami memenangkan sayembara!” ujar Arjuna lantang. Aku bingung.

Ibu mereka tampak sangat terkejut melihatku.

Kakak Arjuna menambahkan,”Ibu telah memerintahkan kami berbagi atas apa yang kami dapatkan, itu berarti, Drupadi pun menjadi milik kami berlima!”

APA??? APA INI???

“APA ARTINYA INI SEMUA???” Aku berteriak. Mereka semua menatapku. Lebih-lebih Ibu Pandhawa. Terbelalak ia!

“Drupadi, atas perintah Ibuku, kau harus menikahi kami semua. Kau tak bisa mengelak atas takdirmu, dan apa yang diperintahkan atasmu.”

Aku tak berpikir dua kali. Sontak aku melepaskan pegangan tangan Arjuna, dan berlari. Entah mengapa, tiba-tiba aku menjadi wanita rendah! Seenaknya saja mereka!

Di belakang, Arjuna mengejarku, tapi lariku lebih cepat. Lariku seperti lari orang kesetanan!

“Drupadi! Berhenti! Berhenti kataku!”

“Tidak! Aku tak mau menikahi kalian berlima!!! Aku pelajar!!!”

“Apa yang kau katakan? Kau bisa mencoreng nama baik ayahmu!! Atau, kau merasa bersalah menolak Adipati Karna?”

“Siapa lagi itu??? AKU TAK TAHU APA-APA!!!”

“Drupadi! Aku memenangkan sayembara untuk mendapatkanmu! Aku berhak atas dirimu!!!” Huh! Memangnya kenapa?

Tiba-tiba, sekitar 50 meter di depanku muncul sebuah lubang besar hitam di udara. Aku merasa aneh. Tapi dari tadi memang aneh!!! Karena semua yang ada di sini aneh-aneh, aku masuki saja lubang yang aneh itu! Hap!

“DRUUUUPAAAADIIIII!!!!” teriakan Arjuna melemah, sepertinya dia mulai lenyap.

BRUAGH!!!

Aku terjerembab. Daguku sakit. Dan posisiku memalukan. Aku mencoba duduk. melihat sekitar. Ini, ruangan yang aku kenal. Loteng rumah kakek! Kubersihkan diriku yang diselimuti debu. Syukurlah, bajuku kembali seperti semula. Kubilang apa, aku hanya bermimpi! Aku menoleh ke belakang, dan kutemukan lagi cermin hitam itu. Hah? Bayanganku di cermin? Aku meneliti penampakanku dalam cermin, dan aku menemukan sesuatu. Aku raba kepalaku, kuambil benda yang menempel di rambut. Astaga! Hiasan? Ini seperti penjepit rambut yang aku pakai di alam sana. Emas dengan ukirannya yang cantik berbentuk bunga, berkilat-kilat diterpa cahaya temaram lampu loteng. Aku segera turun ke lantai bawah.

“Wiwid!” Bibi memanggilku segera setelah melihatku, “Baru kemana saja kau??? Kau sudah membuatku cemas! Dan ternyata kau tidur di loteng? Ya ampun…” dia geleng-geleng kepala.

“Ah…haha. Maaf, maaf, Wiwid saja tidak sadar kalau ketiduran, sampai malam…” aku tersenyum hambar, “Mana Kakek?”

Bibi bermain mata mengisyaratkan bahwa Kakek berada di ruang makan. Aku segera menuju ke sana.

“Kakek!” panggilku. Beliau sedang asyik membaca, terperangah menyadari kehadiranku, “Lihat!” Aku menyodorkan jepit rambut itu.

Kakek memandangnya lama. Setelah itu tampaknya ia mengingat-ingat sesuatu, berpikir, dan ia menatapku,”Kau temukan itu,”katanya pelan, bibirnya tersenyum misterius.

“Apa?” Kakek tak mau menjawab, ”APA?” aku bersikeras ingin tahu, tapi ia tetap diam.

“Kakek mau tidur,” dan ia meninggalkanku begitu saja.

Lalu, aku merasa ditelantarkan. Aku bingung, dan tak tahu harus bagaimana. Jadi, apa itu sebenarnya? Sial!***